kategori

Sunnah Dan Bid'ah

Sunnah dengan makna apa-apa yang disyari’atkan oleh Rasul-Nya adalah lawan dari bid’ah, yakni apa-apa yang baru yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Bid’ah menurut bahasa adalah perkara baru yang diada-adakan. 
Imam asy-Syathibi rahimahullah berkata:

مَا اخْتُرِعَ عَلَى غَيْرِ مِثَالٍ سَابِقٍ.

“Lafazh bid’ah pada asalnya bermakna apa saja yang diada-adakan yang tidak ada contoh sebelumnya.”

Di antara kata bid’ah yang dinamakan demikian ialah kata bid’ah yang terdapat dalam firman Allah:

بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ

“Allah yang menciptakan langit dan bumi...” [Al-Baqarah: 117]

Maksudnya, kata بَدِيْعُ di sini bahwa Allah mengadakan atau menciptakannya dengan rupa (bentuk) yang tidak ada contoh sebelumnya.

Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

قُلْ مَا كُنتُ بِدْعًا مِّنَ الرُّسُلِ

“Katakanlah (wahai Muhammad), ‘Aku bukan seorang Rasul yang baru (bid’ah)...’” [Al-Ahqaaf: 9]

Maksud بِدْعاً di sini ialah: “Bukanlah aku seorang Rasul pertama yang membawa risalah dari Allah kepada hamba-hamba-Nya, bahkan telah banyak Rasul-Rasul yang telah mendahuluiku.”

Apabila dikatakan si fulan telah membuat satu bid‘ah, maka artinya si fulan telah mengadakan suatu jalan (cara) yang belum pernah ada orang yang melakukan sebelumnya.

Bid’ah menurut syari’at ialah apa-apa yang diadakan oleh manusia baik perkataan maupun perbuatan di dalam agama dan syi’ar-syi’arnya yang tidak ada keterangan dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para Shahabatnya yang maksud mengerjakannya untuk ta’abbud (peribadahan).
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata: “Telah bersabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ.

‘Barangsiapa membuat cara baru dalam urusan (agama) kami dengan sesuatu yang tidak ada contohnya, maka (amalan) itu tertolak.’”
Dalam hadits lain dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata: “Telah bersabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :

مَنْ عَمِلَ عَمَلاًً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.

‘Barangsiapa yang beramal denganl satu amalan yang tidak ada contohnya dari kami, maka amalan itu tertolak.’” 

Ketika Ibnu Taimiyyah mendefinisikan bid’ah, beliau berkata: “Bid’ah itu adalah apa-apa yang menyalahi Al-Kitab, As-Sunnah dan Ijma’ Salafush Shalih, baik masaah-masalah aqidah maupun masalah-masalah ibadah, seperti perkataan-perkataan orang-orang Khawarij, Rafidhah, Qadariyyah, dan Jahmiyyah serta orang-orang yang beribadah sambil menari-nari dan bernyanyi di masjid-masjid.” 

Jadi, terkadang As-Sunnah dimaksudkan kepada lawan dari bid’ah. Bila dikatakan si fulan mengikuti Sunnah artinya si fulan beramal menurut apa-apa yang datang dari Rasulullah Shallallahu dan para Shahabatnya. Dan bila dikatakan si fulan berbuat bid’ah artinya si fulan beramal menyalahi apa-apa yang dilaksanakan Rasulullah dan para Shahabatnya Radhiyallahu anhum.

As-Sunnah yang dimaksud dalam pembahasan itu adalah arti Sunnah menurut pengertian ulama ushul, karena pengertian inilah yang digunakan dalam pembahasan dalil-dalil pokok dan kedudukannya dalam pembinaan dan pembuatan hukum syara’. Kendatipun demikian dalam analisis sejarah akan diketengahkan pula pengertian secara umum sebagaimana yang digunakan oleh ahli hadits.

[Disalin dari buku Kedudukan As-Sunnah Dalam Syariat Islam, Penulis Yazid Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, PO.Box 264 Bogor 16001, Jawa Barat Indonesia, Cetakan Kedua Jumadil Akhir 1426H/Juli 2005]
_______
Footnote
[1]. Mafhuum Ahlis Sunnah (hal. 32, 35).
[2]. Lihat kitab Lisaanul ‘Arab (I/342), Mukhtasharush Shihhah (hal. 43-44).
[3]. Al I’tisham (I/49), tahqiq Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilaly.
[4]. Ibid, (I/50).
[5]. HR. Al-Bukhari (no. 2697) dan Muslim (no. 1718), dari ‘Aisyah x.
[6]. HR. Muslim (no. 1718 (17)) dan selainnya.
[7]. Majmu’ Fataawaa (XVIII/346 dan XXXV/414).