Salah satu
syarat sahnya shalat adalah masuknya waktu shalat tersebut. Apabila shalat
dilakukan sebelum waktunya atau sesudah waktunya berlalu maka tidak sah. Allah
Subha ahu wa Ta’ala berfirman.
Allah Subhanahu wa Ta’ala membagi waktu-waktu shalat secara global dalam
al-Qur’an (seperti dalam al-Isra 127 : 78) dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam pun telah menjelaskannya secara terperinci dalam beberapa hadits
beliau (seperti HR Muslim : 612, dan lainnya) [1]. Tanda-tanda masuknya waktu
shalat dapat dilihat dan diketahui oleh siapapun dengan penglihatan
masing-masing. Hanya saja sebagian tanda-tanda tersebut berbeda-beda tingkat
kemudahan dalam melihatnya. Masuknya waktu Maghrib misalnya, sangat jelas
karena dalam hadits-hadits disebutkan bahwa awal waktunya disandarkan kepada
terbenamnya matahari. Hal ini berbeda dengan waktu Subuh, di mana tanda
masuknya (terbit fajar) tergolong paling samar dibandingkan dengan tanda-tanda
masuknya waktu shalat yang lain.
Zaman dahulu untuk melihat tanda-tanda masuknya awal dan akhir waktu shalat
sangatlah mudah. Akan tetapi ketika zaman mulai berubah, dengan banyaknya
bangunan tinggi di daerah-daerah dan perkotaan, belum lagi dengan banyaknya
penerangan-penerangan buatan dan berbagai macam alat transportasi modern, serta
banyaknya pabrik-pabrik dengan asap-asapnya yang tebal cukup mempengaruhi
kondisi langit. Hal tersebut mempengaruhi tingat kesulitan melihat tanda-tanda
awal waktu masuk shalat terutama waktu shalat Subuh. Saat itulah kaum muslimin
berijtihad (mencari jalan) untuk mengetahui tanda masuknya shalat yang menjadi
samar, di antaranya yaitu dengan membuat jadwal waktu-waktu shalat berdasarkan
atas penglihatan sebelumnya dan mengikuti jadwal-jadwal yang ada di
negara-negara Islam.
Di Saudi Arabia misalnya, pemerintahnya berpegang kepada jadwal ini untuk
menentukan waktu shalat bagi penduduknya, dan manusia pun berpegang kepada
jadwal ini sejak kepemimpinan raja Abdul Aziz alu Su’ud hingga hari ini. [2]
AWAL MULA TIMBUL KERANCUAN WAKTU SUBUH[3]
Sekitar dua puluh tahun yang lalu muncul beberapa orang mempermasalahkan
jadwal-jadwal waktu shalat yang telah ada. Mereka menuduh bahwa jadwal waktu
shalat tersebut tidak tepat, yaitu terlalu mendahului dari waktu sebenarnya
sekitar 20 menit [4]. Mereka mengajak orang-orang untuk menyaksikan secara
langsung terbitnya fajar, sebagian orang mengambil pendapatnya dan sebagian
yang lain eggan mengikutinya.
Ketika permasalahan tersebut semakin mulai membuat orang ragu dan bingung.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah selaku Mufti Umam Saudi Arabia pada saat
itu menugaskan Lajnah khusus (suatu lembaga) untuk meninjau ulang, melihat dan
meneliti kembali keabsahan jadwal-jadwal waktu shalat terutama jadwal waktu
shalat pada kalender Ummul Quro (kalender resmi yang berlaku di KSA). Setelah
diteliti dengan cermat, Lajnah tersebut berkesimpulan dan memutuskan bahwa
waktu-waktu shalat yang sebenarnya bersesuaian dengan jadwal-jadwal yang
dipakai oleh kaum muslimin (jadwal waktu shalat Ummul Quro), tidak ada yang
salah. Dengan demikian hilanglah kerancuan permasalahan tersebut.
Hanya saja akhir-akhir ini kerancuan tersebut muncul kembali dan semakin
diperbincangkan, kemudian Syaikh Abdul Aziz Alu Syaikh hafidzahullah selaku
Mufti Umum Kerajaan Saudi Arabia sepeninggal Syaikh Abdul Aziz bin Baz
rahimahullah, membantah kerancuan ini berdasarkan bukti-bukti yang sampai
kepadanya berupa saksi-saksi yang menguatkan kebenaran jadwal-jadwal waktu
shalat, ditambah kenyataan yang berjalan selama ini bahwa jadwal-jadwal
tersebut dipakai tanpa adanya kesalahan. Demikianlah apa yang dikuatkan oleh
Syaikh Dr Shalih Al-Fauzan hafidzahullah dan Syaikh Jad Al-Haq Hafidzahullah
(syaikhul Azhar), juga dikuatkan oleh Ahli Falak Dr Shalih bin Muhammad
Al-Ujairi Hafidzahullah.[5]
WAKTU SHUBUH DIMULAI DENGAN TERBITNYA FAJAR SHODIQ
Kita ketahui bersama bahwa waktu shalat shubuh dimulai dengan masuknya saat
terbit fajar shodiq, dan tidak ada perbedaan dalam hal ini. Oleh karena itu
shalat Shubuh biasa disebut shalat fajar. Namun yang perlu diperhatikan adalah
bahwa fajar ada dua macam, fajar shodiq dan fajar kadzib, sebagaimana sabda
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
الفجر فجران فجر يحرم فية الطعام وتحل فية الصلأة وفجر تحرم فية الصلأة ويحل فية
الطعام
“Fajar itu ada dua , pertama fajar (shodiq) yang haram saat itu makanan dan
halal shalat (subuh), dan fajar yang lain (kadzib) haram shalat (subuh) dan
halal makanan” [HR Ibnu Khuzaimah 1/52/2, Al-Hakim 1/425 dan dishahihkan oleh
Al-Albani dalam Silsilah Shahihah 2/314]
PERBEDAAN FAJAR SHODIQ DAN KADZIB
Para ulama menjelaskan beberapa perbedaan antara Fajar pertama dengan kedua
sebagai berikut :
1). Fajar pertama memanjang dari timur ke barat, sedangkan fajar kedua
membentang dari utara ke selatan.
2). Cahaya fajar pertama bersifat sementara kemudian kembali gelap lagi,
sedangkan cahaya fajar kedua terus bertambah, tidak kembali gelap lagi
3). Fajar pertama tidak bersambung dengan ufuk karena terhalangi oleh
kegelapan, sedangkan fajar kedua bersambung dengan ufuk karena tidak ada
kegelapan antaranya dan antara ufuk. [Syarh Mumti’ 2/113 oleh Syaikh Ibnu
Utsaimin].
AKAR PERBEDAAN TENTANG FAJAR SHODIQ
Bila kita cermati, ternyata perbedaan pendapat ini timbul dari perbedaan
beberapa kalangan ketika mendefinisikan terbitnya fajar shodiq itu sendiri.
Pendapat pertama [6] : Mengatakan bahwa fajar shodiq tidak dikatakan terbit
kecuali jika benar-benar tampak jelas cahaya berwarna merah, yang diketahui
semua orang, menerangi jalanan dan gunung-gunung. Inilah pendapat yang dipegang
oleh mereka yang menyalahkan jadwal waktu shalat Subuh akhir-akhir ini.
Pendapat kedua [7] : Adalah pendapat mayoritas ulama yang mengatakan bahwa
fajar shodiq dikatakan telah terbit jika terlihat sinar putih (permulaan cahaya
fajar), atau dengan tampaknya cahaya fajar, tetapi tidak sampai mempengaruhi
(tidak merubah) keadaan langit (yang gelap) [8]
DEFENISI FAJAR SHODIQ
Dalam Al-Qur’an telah disebutkan bahwa fajar itu terbit ditandai berupa
jelasnya benang putih dengan benang hitam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Dan makan dan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam,
yaitu fajar” [Al-Baqarah 2 : 187]
Ibnu Faris rahimahullah berkata الفجر (fajar) adalah terbelahnya kegelapan
malam oleh (datangnya) Subuh (awal siang).
Ibnu Mandur rahimahullah berkata : “Fajar adalah cahaya Subuh, yaitu sinar
merahnya matahari di kegelapan malam. Dan fajar itu ada dua macam : Pertama,
Fajar mustathil (menjulang ke atas). Ini adalah fajar kadzib yang biasa disebut
Dhanab As-Sirhon (ekor srigala). Sedangkan fajar yang kedua adalah fajar
mustathir (menyebar). Ini adalah fajar shodiq yang menyebar di ufuk, yang
dengannya haram makan dan minum bagi yang berpuasa. Dan waktu subuh tidak
dikatakan masuk kecuali dengan (terbitnya) fajar shodiq”
Imam Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah berkata : “Firman Allah Subhanahu wa
Ta’ala من الفجر sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (terbit fajar)
maksudnya ketika jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam yang mana dia
adalah sebagian dari fajar, bukan keseluruhan fajar”[9]
Imam Qurthubi rahimahullah berkata : “Dinamai fajar (shodiq) itu benang, karena
yang muncul berupa warna putih terlihat memanjang seperti benang” [10]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata : “Dinamai putihnya siang
dengan nama benang putih dan hitamnya malam dengan nama benang hitam,
menunjukkan bahwa fajar yang terbit adalah awal permulaan warna putih yang
berbeda dengan warna hitam disertai dengan tipis dan samarnya, karena benang
itu adalah tipis” [Syarhul Umdah, Kitab As-Shiyam : 1/530]
Az-Zamakhsyari rahimahullah berkata : “Yang dimaksud الخيط الأبيض adalah awal
permulaan tampaknya fajar yang membentang di ufuk seperti benang yang
dibentang” [Al-Kasysyaf : 1/339]
Abu As-Su’ud rahimahullah berkata dalam tafsirnya : “Dan hurup من (dalam ayat
من الفجر ), juga boleh bermakna التبعيض (sebagian), karena sesungguhnya yang
muncul dari fajar itu adalah sebagian dari fajar (bukan keseluruhannya)”
[Tafsir Abul Su’ud : 1/318]
Adapun sifat fajar yang disebutkan berwarna merah, sebagaimana dalam hadits
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
فكاوا وا ثربواحتى يعتزصى لكم الأحمز
“Makan dan minumlah sampai menghadangmu (fajar) merah” [HR Abu Daud : 1/69-370,
At-Tirmidzi : 705, Ibnu Majah : 1930 dan Ad-Daruquthni hlm 231, dihasankan Al-Albani
dalam Silsilah Shahihah : 2031].
Maka al-Khottobi rahimahullah menjawab ; “Makna merah di sini adalah warna
putih yang menyebar masuk kepada awal-awal warna merah (bukan benar-benar
merah).
Abu ath-Thib Muhammad Syamsudin Al-Adhim Abadi rahimahullah. Penulis kitab
Aunul Ma’bud mengatakan : “Makna hadits ‘Makan dan minumlah sampai tampak
kepadamu (fajar) merah, maksudnya (sampai tampak) putihnya siang dari hitamnya
malam, yaitu waktu Subuh shodiq (fajar Shodiq)” [Aunul Ma’bud : 6/339]
Ibnul Atsir rahimahullah mengatakan tentang warna merah yang kadang dipakai
untuk menyebutkan warna putih, sebagaimana orang Arab biasa mengatakan seorang
wanita yang berkulit putih dikatakan wanita berkulit merah. [An-Nihayah 1/437]
Al-Jashshah rahimahullah berkata [11] : “Kalau dikatakan mengapa gelapnya malam
diserupakan dengan benang hitam, padahal gelapnya meliputi alam (tidak mirip
benang?), sungguh kita ketahui bahwa fajar itu diserupakan dengan benang,
karena dia memanjang terbentang di ufuk, sedangkan gelapnya malam (yang
mendominasi ufuk) tidak ada kemiripan (dengan benang). (Jawabnya ) bahwa benang
hitam adalah (gelapnya) malam yang ada pada posisi benang putih sebelum muncul
pada tempat tersebut, (benang hitam) di tempat itu sama dengan benang putih
yang muncul setelahnya, oleh karena itu disebut benang hitam.
Kemudian beliau menambahkan : “Tidak ada perbedaan pendapat bahwa (terbitnya)
fajar putih yang membentang di ufuk sebelum munculnya merah itulah yang
mengharamkan makan dan minum bagi yang berpuasa (saat itulah waktu Subuh
dimulai)”.
Makna fajar shodiq yang kita sebutkan ini dikuatkan oleh sebuah hadits berikut.
“Dari Shal bin Sa’d berkata : Tatkala diturunkan ayat makan dan minumlah hingga
terang bagimu benang putih dari benang hitam sebelum turun ayat (akhirnya) من
الفجر yaitu fajar” dahulu orang-orang jika hendak berpuasa, di antara mereka
mengikat kakinya dengan benang putih dan benang hitam, lalu dia terus makan
(sahur) sampai benar-benar jelas melihat perbedaan antara keduanya, lalu Allah
menurunkan من الفجر yaitu fajar, lalu mereka tahu bahwa yang dimaksud (benang
putih dan hitam itu) adalah (hitamnya) malam dan (putihnya) siang” [HR
al-Bukhari : 4241 dan Muslim 1091]
Keterangan : orang yang hendak berpuasa ini beranggapan bahwa terbitnya fajar harus
benar-benar jelas cahaya Subuh itu dengan sempurna, diketahui semua orang dan
menerangi ruangan, jalanan dan gunung-gunung, karena dua benang putih dan hitam
yang diletakkan berdekatan tidak akan jelas perbedaannya kecuali ketika langit
sudah sangat terang, akan tetapi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menyalahkannya, dan menerangkan bahwa yang dimaksud bukan demikian, tetapi
sekedar terbit fajar walaupun tidak sampai menerangi benda-benda dan jalanan,
maka itulah mulai waktu Subuh dan seorang yang hendak berpuasa dilarang makan
dan minum” [12]
Adapun perkataan Ibnu Jarir tentang karakter sinar terbitnya fajar itu adalah
menyebar dan meluas di langit, cahayanya memenuhi dunia hingga memperlihatkan
jalan-jalan menjadi jelas, maka ini bukanlah pendapat beliau. Lihatlah awal
ucapan dan akhir ucapannya. Sebelumnya beliau mengatakan : “Para penafsir
firman Allah berkata ….” Dan Ibnu Jarir menutup dengan perkataan : “Demikian
para penafsir menyebutkan pendapat ini”. Dan sebagai bukti, ternyata beliau berpendapat
sebagaiaman jumhur berpendapat dengan mengatakan : “(terbit fajar) maksudnya
ketika jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam yang mana dia adalah
sebagian dari fajar semisal benang putih, bukan keseluruhan fajar” [13]
TIDAK SEMUA ORANG MAMPU MELIHATNYA
Semakin banyaknya bangunan tinggi di daerah-daerah dan perkotaan, ditambah
banyaknya penerangan buatan dan berbagai macam alat transportasi modern, serta
banyaknya pabrik-pabrik dengan asap-asapnya yang menjulang, ini semua
mempengaruhi tingkat kesulitan melihat awal terbitnya fajar shodiq yang tipis
hanya seperti benang putih, oleh karena itu saat menjelang Subuh, sering kita
melihat langit gelap, kemudian tiba-tiba berganti merah dan tidak terlihat lagi
warna putih sebelumnya, yang mana warna putih itulah pertanda awal fajar. Oleh
karena itu juga gambar-gambar yang tertangkap oleh kamera jika kita ingin
mengabadikan terbitnya fajar, biasanya yang tampak adalah fajar yang berwarna
merah, bukan awal fajar yang berwarna putih seperti benang tipis. Karena warna
putih ini semakin menjadi samar terpengaruh oleh keadaan langit yang sudah
berubah, atau mungkin tertangkap warna putih oleh kamera tetapi tidak tipis
seperti benang. Ini semua menunjukkan bahwa awal fajar sudah terbit beberapa
waktu yang lalu sebelum kamera menangkap gambar tersebut.
Adapun yang menganggap bahwa terbitnya fajar harus terlihat cahaya terang yang
menerangi jalan-jalan atau harus terlihat warna merah di ufuk, maka ini adalah
pendapat yang bersandar kepada makna fajar secara bahasa, dan makna ini kurang
tepat, karena mereka menyandarkan terbitnya fajar dengan terbitnya fajar secara
sempurna (bukan permulaannya). Hal ini tidak sesuai dengan ayat al-Qur’an yang
menyerupakan fajar dengan benang putih bersama adanya gelap malam yang lebih
dominan.
Perkataan jumhur ini sesuai dengan sebuah hadits yang mengisyaratkan bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat Subuh ketika baru terbit
fajar, bukan ketika fajar telah terbit secara sempurna, sebagaimana dalam haditsnya.
ثم صــلى الفجر حين برق الفجر
“Lalu Nabi shalat Subuh ketika terbit fajar” [HR At-Tirmidzi 1/149, Al-Albani
mengatakan bahwa hadits ini Hasan Shahih dalam Shahih wa Dha’if Sunan
At-Tirmidzi 1/149]
KESIMPULAN MAKNA FAJAR SHODIQ[14]
Fajar shodiq dikatakan telah terbit dan masuk waktu shalat Subuh, serta haram
makan dan minum bagi orang yang berpuasa, adalah jika tampak permulaan
terbelahnya kegelapan malam oleh cahaya Subuh (bukan tampaknya sinar yang
berwarna merah), definisi inilah yang bersesuaian dengan ayat al-Qur’an, yaitu
masuknya waktu Subuh adalah “Hingga terang bagimu benang putih dari benang
hitam, yaitu fajar” [Al-Baqarah 2 : 187]
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengumpamakan permulaan Subuh ini dengan benang
karena sama tipisnya dan bentuknya yang kecil. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala
sama sekali tidak menyebutkan besarnya bentangan benang ini di ufuk, karena
benang yang disebutkan bisa panjang dan bisa pendek.
Ayat ini menunjukkan bahwa permulaan munculnya cahaya di timur pertanda fajar
terbit walaupun sangat kecil selagi dapat dilihat mata manusia. Dan bukanlah
termasuk sifat terbitnya fajar adalah terangnya bumi dan langit, akan tetapi
fajar dikatakan telah terbit walaupun gelapnya malam tetap mendominasi, fajar
itu dikatakan terbit dengan adanya cahaya sebatas benang di bawah ufuk tepat di
atas bumi, dan sebelum menyebarnya cahaya Subuh.
Karena penglihatan manusia terhadap benang di ufuk berbeda tingkat
ketajamannya, maka tidak semua manusia melihatnya. Yang dapat melihat adalah
orang-orang yang memiliki penglihatan yang sangat tajam, bahkan ketika langit
menjadi semakin berubah, maka bisa jadi awal munculnya fajar shodiq itu tidak
dapat dilihat oleh mata [15]
AWAL MULA PEMBUATAN JADWAL WAKTU SHALAT
Pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, manusia mengetahui waktu
shalat dengan melihat tanda-tanda yang tampak bagi mereka. Lalu ketika zaman
semakin berubah, mereka memikirkan cara-cara yang mudah untuk mengetahui
waktu-waktu shalat dan lainnya. Dahulu mereka hanya berpegang dengan pergantian
hari yang terus berputar berbeda-beda menurut musim yang berbeda. Setelah
ditemukan alat penunjuk waktu berupa alat yang dipancangkan dan mempunyai
bayangan, maka mereka beralih kepada alat ini selama ribuan tahuan, lalu terus
berkembang, sehingga ditemukan jam mekanik sekitar abad 13M dan tersebarlah
pemakaian jam ini pada abad 15M
Dengan alat ini kaum muslimin mengetahui waktu-waktu dengan sangat tepat,
bahkan dapat mengetahui perbedaan waktu permenitnya, kemudian ditemukan jam
yang menggunakan bandul pada abad 18. Penemuan ini semakin membuat manusia
mengetahui waktu lebih teliti sampai perdetiknya, dan terus berkembang
bentuk-bentuk jam ini sampai sekarang. [16]
Ketika manusia telah membutuhkan jam-jam waktu ini, maka mereka juga
membutuhkannya untuk mudahnya mengetahui waktu shalat. Karena jika tidak
demikian maka mereka harus berulang kali melihat tanda-tanda masuknya waktu
shalat yang setiap harinya terulang 5 kali waktu, belum lagi keadaan langit
sudah berubah. Bersamaan dengan itulah menjadi dikenal perhitungan waktu-waktu
bagi kaum muslimin. Dan cara-cara hisab/perhitungannya ini terus berkembang
seiring dengan berkembangnya alat-alat perhitungan waktu yang digunakan oleh
kaum muslimin. Lalu ketika ditemukan mesin cetak mulailah dicetak jadwal waktu
shalat dan puasa yang kemudian disebarkan sehingga memudahkan kaum muslimin
dalam menjalankan ibadah mereka. [17]
Pembuatan jadwal-jadwal ini berdasarkan perhitungan yang sangat teliti para
ahli dibidangnya, yaitu menjadikan gerakan matahari sebagai patokannya. Mereka
membedakan penentuan waktu ini sesuai dengan perbedaan hari dan tempatnya,
bahkan dengan perhitungan menggunakan alat-alat yang lebih canggih dapat
diketahui waktu shalat lima waktu sampai beberapa tahun kedepannya [18].
Demikianlah kaum muslimin terus menggunakan jadwal-jadwal waktu shalat dari
dahulu hingga sekarang.
HUKUM MENGGUNAKAN JADWAL WAKTU SHALAT
Sejak ditemukan alat-alat modern dan dibuat jadwal waktu shalat, tidak djumpai
seorangpun dari para ulama yang mengingkarinya. Ini pertanda bahwa menggunakan
jadwal-jadwal tersebut diperbolehkan dengan kesepakatan para ulama/Ijma’ ulama.
[19]
Kesepakatan ulama ini diperkuat dengan beberapa perkara, di antaranya.
1). Penggunaan jadwal waktu shalat mempermudah kaum muslimin terutama
menentukan waktu Subuh yang telah dikatakan oleh para ulama bahwa munculnya
awal fajar shodiq sulit dilihat, sebab ada sesuatu yang menghalangi terlihatnya
awal munculnya fajar, seperti tinggi dan banyaknya bangunan. Adanya cahaya
buatan, seperti lampu-lampu jalanan dan gedung-gedung serta pabrik-pabrik juga
mempengaruhi keadaan ufuk. Hal ini sesuai dengan kaidah Islam adalah agama yang
mudah.
2). Dengan penggunaan jadwal tersebut maslahat yang timbul lebih besar dan
mafsadat (kerusakan) yang ada lebih ditekan, yaitu berupa perselisihan,
pertikaian dan perpecahan di antara kaum muslimin.
3). Jadwal waktu shalat yang ada telah dikeluarkan oleh pemerintah kaum
muslimin dan keberadaannya disetujui oleh para ulama. Sehingga kita harus
mengikuti apa yang ditetapkan oleh pemimpin dalam urusan yang diberikan kepada
mereka. Jika tidak, maka akan timbul perselisihan dan perpecahan yang sangat
dibenci dalam Islam. [20]
FATWA SYAIKH IBNU BAZ RAHIMAHULLAH
Berikut fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah selaku mufti umum Saudi
Arabia, ketua lembaga ulama besar Saudi Arabia dan ketua Idarotil Buhuts
al-Ilmiyah wal Ifta’ berkaitan dengan masalah jadwal waktu shalat dari kalender
Ummul Quro tertanggal 22 Rajab 1417 H. Beliau mengatakan :
“Segala puji bagi Allah semata, dan shalawat serta salam tercurah kepada Nabi
kita Muhammad beserta keluarga, dan para sahabatnya, adapun setelah itu.
Maka sesungguhnya tatkala banyak pembicaraan dari sebagian orang akhir-akhir
ini tentang jadwal (waktu shalat) dalam kalender Ummu Quro, dan dikatakan bahwa
terdapat kesalahan padanya, khususnya waktu shalat Subuh yang mendahului
sekitar 5 (lima) menit atau lebih dibandingkan waktu yang sesungguhnya. Maka
saya tugaskan panitia khusus dari kalangan para ulama untuk pergi keluar dari batas
kota Riyadh, (tempat yang jauh) dari lampu-lampu/cahaya-cahaya (buatan), supaya
mereka memantau terbitnya fajar, dan supaya diketahui sejauh mana tepatnya
penentuan jadwal yang dimaksud dengan kenyataan.
Dan sungguh panitia khusus tersebut dengan kesepakatan mereka menetapkan bahwa
jadwal waktu-waktu tersebut tepat/bersesuaian dengan terbitnya fajar, dan tidak
benar apa yang disangka sebagian orang bahwa jadwal tersebut mendahului sebelum
terbitnya fajar.
Dan untuk menghilangkan kerancuan/keraguan yang membuat sebagian orang ragu
akan sahnya shalat mereka, maka inilah penjelasannya.
Allah maha memberi taufiq dan maha menunjuki kepada jalan yang lurus” [21]
FATWA SYAIKH ABDUL AZIZ ALU SYAIKH HAFIDZAHULLAH
Mufti umum Saudi Arabia sepeninggal Syaikh bin Baz rahimahullah, yaitu Syaikh
Abdul Aziz Alu Syaikh hafidzahullah. Beliau juga membantah tuduhan sebagian
orang yang menyalahkan jadwal waktu shalat pada kalender Ummul Quro. Beliau
mengatakan : “Semua pendapat yang dilontarkan dalam masalah ini adalah salah
dan jauh dari kebenaran, sehingga (pendapat-pendapat ini) wajib ditinggalkan.
Karena (bila tidak) maka akan mengakibatkan tersebarnya kebingungan di antara
kaum muslimin”.
Beliau menambahkan bahwa jadwal waktu shalat yang terdapat pada kalender Ummul
Quro adalah jadwal yang resmi dan sesuai syari’at, tidak ada keraguan di
dalamnya. Para pengurusnya adalah para ulama yang dipilih lagi terpercaya dari
sisi ilmu dan amanahnya. Bahkan jadwal ini telah digunakan kaum muslimin sejak
zaman dahulu hingga sekarang” [22]
FATWA SYAIKH DR SHALIH AL-FAUZAN HAFIDZAHULLAH
Syaikh Dr Shalih al-Fauzan hafidzahullah menulis sebuah fatwa berkaitan dengan
masalah ini dan diberi judul “Kewajiban Menghormati Fatwa Para Ulama”. Beliau
berkata :
“Akhir-akhir ini kita menyaksikan sebagian orang mengutarakan pendapatnya dalam
perkara-perkara yang bukan hak mereka untuk mengutaran pendapat. Sehingga
mereka membuat manusia bingung dalam ibadah, muamalah, dan aqidah mereka.
Diantaranya adalah mereka ikut campur menentukan waktu-waktu shalat, dan
akhirnya mereka membingungkan umat, mereka mengumumkan bahwa shalat manusia
sekarang belum masuk pada waktunya, mereka mengatakan bahwa jadwal yang dibuat
Ummul Quro terdapat kesalahan perhitungan. Padahal jadwal ini disahkan oleh
pemerintah, disetujui oleh perbagai kalangan para ulama sejak zaman dahulu dan
tidak pernah terjadi kesalahan ketika diterapkan sejak puluhan tahun lamanya”
[23]
TANGGAPAN SYAIKH IBNU UTSAIMIN RAHIMAHULLAH
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah termasuk yang menyatakan bahwa jadwal waktu
shalat yang dibuat Ummul Quro terlalu mendahului 5 (lima) menit dari waktu
Subuh yang sebenarnya [24], akan tetapi ketika disampaikan kepada beliau fatwa
Mufti Umum Syaikh Bin Baz rahimahullah, beliau menanggapi dengan perkataan : “Suatu
permasalahan yang ditetapkan oleh mufti mamlakah (Saudi Arabia), maka kita
tidak ada hak turut campur di dalamnya, dan kita tidak boleh menyelisihinya
sama sekali, akan tetapi khusus masalah shalat, seseorang boleh berhati-hati
mengakhirkan sampai 5 menit” [Liqo’ al-Bab al-Maftuh 20/147]
AGAMA INI ADALAH NASIHAT, TETAPI UNTUK SIAPA?
Jika tampak bagi seorang tanda waktu masuknya shalat berbeda dengan yang telah
ditetapkan oleh pemimpin dan dia menyangka pemimpin dalam hal ini salah, maka
wajib baginya menyampaikan perkara ini kepada pemimpin atau wakilnya dalam
bidangnya dan menasihati mereka, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan
bahwa agama ini adalah nasihat, sebagaimana sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
الد ين النصيحة قلنا لمن؟ قا ل للة ولكتا بة ولرسولة ولأئمة المسلمين وعا متهم
“Agama ini adalah nasihat, kami bertanya (nasihat) buat siapa? Beliau menjawab
: Untuk Allah, untuk Rasul-Nya, untuk para pemimpin kaum muslimin dan
masyarakat secara umum” [HR al-Bukhari 1/108 dan Muslim 1/74]
Hadits ini menunjukkan bahwa nasihat kepada pemimpin dibedakan dengan nasihat
kepada masyarakat secara umum.
Termasuk yang diketahui bersama bahwa penjadwalan waktu shalat (ketika manusia
secara umum tidak memungkinkan melihat tanda-tanda masuknya waktu shalat),
demikian pula penetapan bulan sabit (pertanda masuknya awal bulan), keduanya
termasuk perkara yang diserahkan urusannya kepada lembaga-lembaga pemerintah
resmi dalam bidangnya. Jika ada seseorang yang menyangka bahwa suatu perkara
yang diurus pemimpin itu salah, (demikian juga urusan-urusan lain yang
dimaksudkan supaya umat ini bersatu dan tidak berselisih), maka dia (orang yang
menganggap salah) harus mengkhususkan nasihatnya kepada pemimpinnya dengan cara
yang baik, bukan membeberkan kesalahan yang ia sangka kepada masyarakat umum,
atau memaparkan kesalahan ini di media cetak. Hal ini supaya tidak terjadi
kekacauan, kerancuan, kebingungan yang pada akhirnya masyarakat tidak percaya
dan selalu curiga kepada pemimpinnya. Jika menasihati pemimpin dengan cara yang
baik telah dilakukan, maka lepaslah tanggung jawabnya di hadapan Allah
Subhanahu wa Ta’ala, terlepas dari diterima atau tidak nasihat tersebut. Karena
dia telah melaksanakan perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk
menyampaikan nasihat kepada “ahlinya” (yang patut dinasihati). Dan barangsiapa
dengan sengaja menyebarkan kesalahan ini kepada masyarakat umum baik dengan
cara menulis di majalah atau lainnya, maka dia telah menyalahi perintah Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam tingkatan nasihat kepada pihak yang
dianggap bersalah. Karena dia menasihati masyarakat sebelum pemimpinnya,
padahal semestinya mendahulukan pemimpin baru kemudian masyarakatnya. [25]
KESIMPULAN
1). Para ulama sepakat bahwa masuknya waktu shalat Subuh adalah terbitnya
fajar.
2). Para ulama berbeda pendapat tentang penentuan terbitnya fajar, ada yang
berpendapat harus sempurna terbitnya dengan syarat cahayanya memenuhi jalanan
dan terlihat oleh semua orang, sedangkan jumhur ulama berpendapat bahwa
terbitnya fajar jika terlihat warna putih seperti benang tipis pertanda
terbitnya awal fajar sebelum adanya cahaya merah, tetapi tidak semua orang
dapat melihatnya karena Allah Subhanahu wa Ta’ala menyerupakannya dengan benang
putih yang tipis dan samara.
3). Semakin banyaknya bangunan tinggi di daerah-daerah dan kota-kota, ditambah
banyaknya penerangan buatan dan berbagai macam alat transportasi modern, serta
banyaknya pabrik-pabrik dengan asap-asapnya yang menjulang, sangat mempengaruhi
tingkat kesulitan melihat awal terbitnya fajar shodiq yang tipis seperti benang
putih, oleh karena itu, jika menjelang Subuh, sering kita melihat langit sangat
gelap, lalu tiba-tiba berganti merah dan tidak terlihat lagi warna putih
pertanda awal fajar sebelumnya, dan jika kita mengabadikannya dengan kamera,
biasanya yang tertangkap adalah fajar yang berwarna merah, bukan awal fajar
yang berwarna putih seperti benang tipis, atau mungkin tertangkap warna putih
oleh kamera tetapi tidak tipis seperti benang, ini semua menunjukkan bahwa awal
fajar sudah terbit beberapa waktu yang lalu sebelum kamera menangkap gambar
yersebut.
4). Penggunaan jadwal untuk menentukan jadwal waktu shalat disepakati oleh para
ulama kebolehannya.
5). Jika seseorang melihat suatu perkara yang diurus oleh pemimpin/pemerintah
ada kesalahan, maka wajib baginya menyampaikan kebenaran kepada pemimpin dan
menasihatinya dengan bijak, karena agama adalah nasihat.
6). Dengan demikian tidak ada yang perlu diragukan tentang penggunaan
jadwal-jadwal waktu shalat, jika jadwal tersebut resmi dan tidak terbukti
salah, terlebih lagi bagi orang yang tidak melihat fajar shodiq secara
langsung. Wallahu A’lam
[Disalin dari Majalah Al-Furqon, Edisi 4, Tahun ke-9/Dzulqo'dah 1430/2009.
Diterbitkan Oleh Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqon Al-Islami, Alamat : Ma’had
Al-Furqon, Srowo Sidayu Gresik Jatim]
_________
Footnotes
[1]. Dinukil secara ringkas dari Risalah fi Mawaqitis Sholat karya Syaikh
Muhammad bin Shalih bin Utsaimin rahimahullah hlm.7-11
[2]. Lihat Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh,
karya Prof. Dr. Ibrohim bin Muhammad ash-Shubaihi hafidzahullah, hlm.7
[3]. Banyak pertanyaan masuk ke redaksi dan ada juga yang secara langsung
kepada penulis, bahkan hamper di setiap majelis ta’lim saat itu mempertanyakan
masalah tersebut. Kemudian pemimpin redaksi majalah Al-Furqon, al-Ustadz Ahamad
Sabiq hafidzahullah mnghimbau kami untuk membahasnya, karena permasalahannya
semakin dirasa rumit serta membuat banyak orang bingung dan ragu akan
keabasahan shalat Subuh mereka. Akhirnya kami putuskan untuk membahasnya demi
kemaslahatan bersama. Kami sampaikan Jazakumullah khairan kepada al-Ustadz Abu
Ubaidah hafidzahullah yang telah meminjamkan beberapa rujukan penting dalam
masalah ini. Dan kami sampaikan bahwa pembahasan ini kami sarikan dari kitab
Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh, karya Prof.
Dr. Ibrohim bin Muhammad ash-Shubaihi hafidzahullah, diberi kata pengantar oleh
Mufti Umum Kerajaan Saudi Arabia, Syaikh Abdul Aziz Alu Syaikh hafidzahullah
dan Syaikh Dr Shalih al-Fauzan hafidzahullah. Cetakan pertama tahun 1428H.
Demikian juga kami tambahkan dari referensi penting lainnya.
[4]. Di antara mereka yang paling menonjol menyerukan masalah ini adalah
Abdullah al-Sulthon, imam masjid salah satu kampong di kota Riyadh, Saudi
Arabia. (Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh
hlm.7)
[5]. Lihat Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh,
hlm.8-11
[6]. Ini adalah pendapat yang diriwayatkan dari Umar, Khudzaifah, Ibnu Abbas,
Tholq bin Ali, Atho’ bin Abi Robbah, al-A’masy, dan Masruq. (Lihat Thulu’
al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh, hlm.55-62)
[7]. Seperti yang dikatakan oleh Imam al-Qurthubi rahimahullah bahwa ini adalah
pendapat jumhur para ulama, dikuatkan oleh Ibnu Jarir at-Thobari, Ibnu Zaid,
dan al-Jashshosh. (Lihat Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa
Ithlaq al-Lughoh, hlm 62-66)
[8]. Lihat Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh,
hlm. 12 dan 55-66
[9]. Tafsir Ibnu Jarir ath-Thobari 2/182-183
[10]. Tafsir al-Qurthubi 2/320
[11]. Lihat Ahkamul Qur’an karya Imam al-Jashshosh 1/222-230
[12]. Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh, hlm.
76
[13]. Lihat Tafsir Ibnu Jarir at-Thobari 2/182-183, dan Thulu’ al-Fajr
as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh, hlm.76-77
[14]. Lihat Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh,
hlm.53-54
[15]. Sebagaimana diisyaratkan sulitnya melihat fajar shodiq oleh Syaikh Ibnu
Utsaimin dalam As-Syarhul Mumthi’ ala Zadil Mustaqni 2/94. Demikian juga
Syaikhuna Dr Sami bin Muhammad as-Shuqoir, murid sekaligus pengganti Syaikh
Ibnu Utsaimin sebagai imam rowatib di masjidnya, beliau menafikan terlihatnya fajar
shodiq pada zaman sekarang kecuali dengan penelitian yang mendalam. (informasi
dari al-Akh Abdul Wahhab dari kota Unaizah, KSA)
[16]. Lihat Masa’il Mu’ashiroh mimma Ta’ummu bihi al-Balwa fi Fiqhil Ibadat,
hlm. 214, karya Ibnu Jam’an Jaridan
[17]. Lihat Masa’il Mu’ashiroh mimma Ta’ummu bihi al-Balwa fi Fiqhil Ibadat,
hlm. 215, karya Ibnu Jam’an Jaridan
[18]. Lihat Masa’il Mu’ashiroh mimma Ta’ummu bihi al-Balwa fi Fiqhil Ibadat,
hlm. 216, karya Ibnu Jam’an Jaridan
[19]. Lihat Masa’il Mu’ashiroh mimma Ta’ummu bihi al-Balwa fi Fiqhil Ibadat,
hlm. 218, karya Ibnu Jam’an Jaridan. Lihat pula Fiqhu Nawazil fil Ibadat, DR
Kholid al-Musyaiqih hlm. 38-39, Fatawa Lajnah Daimah 6/141
[20]. Lantas timbul pertanyaan penting : Kenapa para ulama mengingkari
penentuan puasa Ramadhan dengan hisab, tetapi mereka tidak mengingkari dalam
penentuan shalat?!! Imam Al-Qorrofi menjawab masalah ini, katanya :
“Sesunguhnya Allah menjadikan tergelincirnya matahari merupakan sebab wajibnya
shalat Dhuhur, demikain juga waktu-waktu shalat lainnya. Barangsiapa yang
mengetahui sebab tersebut dengan cara apapun, maka dia terkait dengan hukumnya.
Oleh karena itu hisab yakin bisa dijadikan pegangan dalam waktu shalat. Adapun
dalam puasa, Islam tidak menggantungkannya dengan hisab, tetapi dengan salah
satu diantara dua perkara : Pertama, Melihat hilal. Kedua : Menyempurnakan
bulan sya’ban menjadi tiga puluh hari apabila tidak telihat hilal. Wallahu
A’lam [Al-Furuq 2/323-324 secara ringkas]
[21]. Dinukil dari Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq
al-Lughoh, hlm. 29-30
[22]. Lihat Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh,
hlm. 22, dan ini sekaligus membantah mereka yang menyalahkan jadwal shalat
Subuh dengan tuduhan bahwa jadwal-jadwal yang berlaku dibuat oleh orang-orang
yang tidak ahli dibidangnya, bahkan dikatakan bahwa insinyur Inggris-lah yang
membuatnya.
[23]. Dinukil dari Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq
al-Lughoh, hlm. 22
[24]. Perlu diingat bahwa Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah hanya menngatakan 5
menit saja, bukan 20-25 menit, bahkan beliau mengatakan “ Nampaknya ini adalah
berlebih-lebihan, tidak benar”. (Fatawa Ibnu Utsaimin hlm 680). Kemudian, kalau
kita terima pendapat Syaikh Ibnu Utsaimin ini –karena perlu dikaji lagi-, tidak
bisa kita terapkan begitu saja di negeri kita, karena adanya perbedaan hisab,
perbedaan tempat, dan perbedaan waktu. Wallahu a’lam
[25]. Lihat Thulu’ al-Fajr as-Shodiq baina Tahdidil Qur’an wa Ithlaq al-Lughoh,
hlm. 12-13